Senin, 26 Maret 2012

Resep Favorite

Martabak Mini



Bahan adonan kulit martabak :

-      Tepung terigu 250 gr
-      Gula pasir 50 gr
-      Vanili bubuk 1/2 sdt
-      Garam 1/4 sdt (boleh tidak pakai)
-      Telur ayam 1 butir
-      Susu cair (boleh susu bubuk diseduh)
-      Soda kue 1/2 sdt

Cara membuat martabak :

1.    Campur semua bahan, (kecuali soda kue) lalu mixer hingga lembut. Diamkan selama 1 jam sampai adonan sedikit mengental.
2.   Panaskan loyang yang telah diolesi sedikit margarine dengan api kecil (agar tidak cepat gosong). Campur soda kue kocok lagi dengan mixer.
3.   Setelah cetakan panas, tuangkan 1 sendok sayur adonan, tekan bagian tengah hingga membentuk pinggiran martabak.
4.   Biarkan adonan mengeluarkan buih, taburkan gula pasir. Tutup Loyang.
5.   Angkat olesi mentega, taburi topping sesuai selera.

Koperasi Dalam Era Globalisasi Ekonomi dan Perdagangan


PERKEMBANGAN KOPERASI DI INDONESIA: PROSPEK DAN TANTANGAN DI DALAM ERA GLOBALISASI EKONOMI DAN LIBERALISASI PERDAGANGAN DUNIA

Ropke (1987) mendefinisikan koperasi sebagai organisasi bisnis yang para pemilik atau anggotanya adalah juga pelangggan utama perusahaan tersebut (kriteria identitas). Kriteria identitas suatu koperasi akan merupakan dalil atau prinsip identitas yang membedakan unit usaha koperasi dari unit usaha yang lainnya. Berdasarkan definisi tersebut, menurut Hendar dan Kusnadi (2005), kegiatan koperasi secara ekonomis harus mengacu pada prinsip identitas (hakikat ganda) yaitu anggota sebagai pemilik yang sekaligus sebagai pelanggan. Organisasi koperasi dibentuk oleh sekelompok orang yang mengelola perusahaan bersama yang diberi tugas untuk menunjang kegiatan ekonomi individu para anggotanya. Koperasi adalah organisasi otonom, yang berada didalam lingkungan sosial ekonomi, yang menguntungkan setiap anggota, pengurus dan pemimpin dan setiap anggota, pengurus dan pemimpin merumuskan tujuan-tujuannya secara otonom dan mewujudkan tujuan-tujuan itu melalui kegiatan-kegiatan ekonomi yang dilaksanakan secara bersama-sama (Hanel, 1989). 

Perkembangan Koperasi di dalam Ekonomi Kapitalis dan Semi Kapitalis

Dalam sejarahnya, koperasi sebenarnya bukanlah organisasi usaha yang khas berasal dari Indonesia. Kegiatan berkoperasi dan organisasi koperasi pada mulanya diperkenalkan di Inggris di sekitar abad pertengahan. Pada waktu itu misi utama berkoperasi adalah untuk menolong kaum buruh dan petani yang menghadapi problem-problem ekonomi dengan menggalang kekuatan mereka sendiri. Kemudian di Perancis yang didorong oleh gerakan kaum buruh yang tertindas oleh kekuatan kapitalis sepanjang abad ke 19 dengan tujuan utamanya membangun suatu ekonomi alternatif dari asosiasi-asosiasi koperasi menggantikan perusahaan-perusahaan milik kapitalis (Moene dan Wallerstein, 1993). Ide koperasi ini kemudian menjalar ke AS dan negara-negara lainnya di dunia. Di Indonesia, baru koperasi diperkenalkan pada awal abad 20.
Sejak munculnya ide tersebut hingga saat ini, banyak koperasi di negara-negara maju (NM) seperti di Uni Eropa (UE) dan AS sudah menjadi perusahaan-perusahaan besar termasuk di sektor pertanian, industri manufaktur, dan perbankan yang mampu bersaing dengan korporat-korporat kapitalis.
Sejarah kelahiran dan berkembangnya koperasi di NM dan NSB memang sangat diametral. Di NM koperasi lahir sebagai gerakan untuk melawan ketidakadilan pasar, oleh karena itu tumbuh dan berkembang dalam suasana persaingan pasar. Bahkan dengan kekuatannya itu koperasi meraih posisi tawar dan kedudukan penting dalam konstelasi kebijakan ekonomi termasuk dalam perundingan internasional. Peraturan perundangan yang mengatur koperasi tumbuh kemudian sebagai tuntutan masyarakat koperasi dalam rangka melindungi dirinya.  Sedangkan, di NSB koperasi dihadirkan dalam kerangka membangun institusi yang dapat menjadi mitra negara dalam menggerakkan pembangunan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu kesadaran antara kesamaan dan kemuliaan tujuan negara dan gerakan koperasi dalam memperjuangkan peningkatan kesejahteraan masyarakat ditonjolkan di NSB, baik oleh pemerintah kolonial maupun pemerintahan bangsa sendiri setelah kemerdekaan (Soetrisno, 2001). Dalam kasus Indonesia, hal ini ditegaskan di dalam Undang-undang (UU) Dasar 1945 Pasal 33 mengenai sistem perekonomian nasional. Berbagai peraturan perundangan yang mengatur koperasi dilahirkan dan juga dibentuk departemen atau kementerian khusus yakni Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah dengan maksud mendukung perkembangan koperasi di dalam negeri.
Dari penelitiannya terhadap perkembangan koperasi pertanian dan permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh koperasi di Uni Eropa (UE), Nello (2000) memberikan sejumlah langkah yang harus diambil agar koperasi pertanian bisa berkembang dengan baik, yang antara lain adalah (1) menghilangkan ketidakunggulan dari petani-petani skala kecil yang terfregmentasi dengan cara membantu mereka untuk mengkonsentrasi suplai, menstabilkan harga produsen, dan meningkatkan kekuatan tawar dari petani-petani (anggotanya); (2) menciptakan kesempatan atau kemampuan petani untuk mengeksploit skala ekonomis dan meningkatkan kapasitas mereka untuk bersaing pada suatu pasar yang lebih besar (misalnya pasar ekspor); (3) memperbaiki kualitas dan menaikkan orientasi pasar, dan dengan cara itu menolong petani untuk memenuhi permintaan-permintaan yang meningkat dari konsumen untuk produk-produk makanan yang bervariasi, aman, dan spesifik regional (spesialisasi); (4) membantu petani untuk bisa memperbaiki kualitas dalam proses produksi, pembungkusan, penyimpanan dan lain sebagainya sesuai standar-standar internasional yang berlaku; (5) memperbaiki kinerja manajemen, dewan direktur dan organisasi koperasi untuk meningkatkan kepuasan anggota; dan (6) menjamin sumber pendanaan yang cukup.
Dengan membandingkan koperasi perdesaan di Belanda dengan di Afrika Sub-Sahara, Braverman, dkk. (1991) menyimpulkan bahwa buruknya kinerja koperasi di Afrika Sub-Sahara (atau di banyak negara berkembang (NB) pada umumnya) disebabkan oleh sejumlah faktor yang bisa dibedakan antara faktor-faktor eksternal diluar kontrol koperasi dan faktor-faktor internal. Faktor-faktor internal terutama adalah keterbatasan partisipasi anggota, masalah-masalah struktural dan kontrol, dan kesalahan manajemen. Sedangkan faktor-faktor eksternal terutama adalah intervensi pemerintah yang terlalu besar yang sering didorong oleh donor, kesulitan lingkungan-lingkungan ekonomi dan politik, dan harapan-harapan yang tidak realistic dari peran dari koperasi. Menurut mereka, problem yang paling signifikan adalah cara bagaimana koperasi itu dipromosikan oleh pemerintah. Promosi yang sifatnya dari atas ke bawah telah menghalangi anggota untuk aktif berpartisipasi dalam pembangunan koperasi. Bentuk-bentuk organisasi dan kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan diatur oleh pihak luar. Jadi koperasi telah gagal untuk berkembang menjadi unit-unit yang mandiri dan sepenuhnya berdasarkan anggota.  Masih dalam kaitan ini, Linstad (1990) mengatakan bahwa di banyak NB  sering kali pemerintah melihat dan menggunakan koperasi sebagai suatu alat untuk menjalankan agenda-agenda pembangunannya sendiri. Koperasi sering diharapkan bahkan di paksa berfungsi sebagai kesejahteraan sosial dan sekaligus sebagai organisasi ekonomi, yang dengan sendirinya memberi beban sangat berat kepada struktur manajemen koperasi yang pada umumnya lemah. Menurut Braverman, dkk. (1991), sedikit sekali perhatian diberikan kepada kondisi-kondisi ekonomi dimana koperasi-koperasi diharapkan melakukan berbagai aktivitas. Promosi koperasi yang tidak diskriminatif, yakni tanpa memberi perhatian pada hal-hal seperti dinamik-dinamik internal, insentif, struktur kontrol, dan pendidikan dari anggota, sering kali telah membuat koperasi-koperasi menjadi organisasi-organisasi birokrasi yang sangat tergantung pada dukungan pemerintah dan politik. Oleh karena itu, Gentil (1990) menegaskan bahwa agar koperasi maju maka hubungan antara pemerintah dan koperasi yang didefinisikan ulang.  
Rangkuman dari hasil Konferensi Tahunan Koperasi-Koperasi Petani, Oktober 29-20, 2001 di Las Vegas, Nevada (AS) menghasilkan beberapa butir penting yang disampaikan oleh pembicara-pembicara mengenai tantangan yang dihadapi oleh koperasi pada era sekarang ini. Diantaranya dari Larson, yakni sebagai berikut: (1) membangun suatu sistem koperasi yang menyatukan peran lokal dan peran regional; dalam kata lain bagaimana koperasi lokal dan koperasi regional bisa bekerja sama untuk jangka panjang); (2) menciptakan penghasilan yang cukup (atau menaikkan profit); (3) mengembangkan atau menyempurnakan strategi dan keahlian pemasaran (mensegmentasikan pasar hanya permulaan); (4) program-program SDM; dan (5) mengembangkan dan melaksanakan suatu strategi e-commerce. Pesan paling utama dari Larson untuk koperasi-koperasi lokal adalah bahwa kinerja keuangan yang solid sangat penting; koperasi-koperasi harus mempunyai tujuan-tujuan penggerak/peningkatan kinerja.
Selain studi-studi kasus di atas, beberapa pengamat koperasi di Indonesia juga mencoba mengevaluasi keberhasilan koperasi di NM. Misalnya menurut Soetrisno (2001, 2003a,b,c), model-model keberhasilan koperasi di dunia umumnya berangkat dari tiga kutub besar, yaitu konsumen seperti di Inggris, kredit seperti di Perancis dan Belanda dan produsen yang berkembang pesat di daratan Amerika, khususnya AS dan di beberapa negara di Eropa. Dari evaluasinya, Soetrisno melihat ada beberapa syarat agar koperasi bisa maju.

Referensi ;
http://www.konsultank3.com/prospek-perkembangan-koperasi-di-indonesia-ke-depan.html#

Rabu, 14 Maret 2012

EKONOMI DAN BISNIS DI INDONESIA

STRATEGI MEMBANGUN KEUNGGULAN DAYA SAING
USAHA MIKRO, KECIL, MENENGAH DAN KOPERASI
DI INDONESIA DALAM ERA PEREKONOMIAN BARU

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS, 2002), jumlah usaha kecil dan menengah termasuk usaha mikro – selanjutnya baca UKM – mencapai angka 41 juta unit atau 99,99% dari total usaha yang ada dan mampu menyerap 99,4% dari total angkatan kerja yang ada. Disamping itu, UKM juga telah memberikan kontribusi yang cukup besar, yaitu 63.56% terhadap produk domestik bruto (PDB) diluar minyak dan gas. Namun demikian, peranan UKM dalam ekspor masih relatif rendah, yaitu dibawah 20%.
Selanjutnya, kalau data UKM tersebut dipilah lebih rinci lagi, bahwa dari 41 juta unit tersebut, 39,95 juta atau 99,85% adalah usaha kecil dan 55 ribu atau 0,14% usaha menengah. Dari 39,95 juta usaha kecil tersebut, 97,4% merupakan usaha mikro yang omzetnya dibawah Rp. 50 juta per tahun. Bahkan, jika ditinjau dari tingkat pendidikannya, bahwa sebagian terbesar (lebih dari 97%) usaha kecil berpendidikan SLP ke bawah. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan para pengusaha kecil sangat rendah sekali.
Rendahnya tingkat pendidikan para pengusaha kita, khususnya UKM membawa dampak pada berbagai masalah yang dihadapi oleh UKM. Masalah-masalah tersebut adalah:
a.    kekurangmampuan akses dan perluasan pangsa pasar,
b.    kekurangmampuan akses pada sumber-sumber pendanaan, khususnya bank,
c.    keterbatasan akses pada informasi,
d.    kurang mampu memanfaatkan teknologi dan melakukan alih teknologi; dan,
e.    kelemahan dalam pengelolaan organisasi dan manajemen.

TANTANGAN DAN PELUANG MEMBANGUN UKMK

Disamping menghadapi era globalisasi, tantangan yang sedang dan dihadapi adalah demokratisasi dan desentralisasi atau otonomisasi. Demokratisasi dicirikan oleh kebebasan berfikir, berkata, dan bertindak. Maka, para pelaku bisnis dituntut untuk selalu inovatif, kreatif dan mampu beradaptasi karena tidak ada lagi keberpihakan khusus kepada yang lemah.
Demikian juga dalam era otonomisasi. Peran pemerintah pusat tidak seperti pada era sebelumnya yang sentralistis. Masing-masing daerah bebas mengembangkan kreasi sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Pada era otonomisasi ini pula masing-masing UKMK akan memperoleh perlakuan yang berbeda sesuai dengan kapasitas daerah dimana UKMK itu berada.
Pada daerah yang mampu dari segi pendanaan kalau ditunjang oleh konsep yang jelas dalam pemberdayaan UKMK akan mampu menghasilkan UKMK yang tangguh sesuai dengan potensi daerah bersangkutan. Sebaliknya, pada daerah yang miskin akan terjadi keterbatasan dalam upaya pemberdayaan UKMK di daerah bersangkutan. Kalau hal ini terus kita biarkan, tanpa adanya motivasi yang tinggi dari masing-masing pelaku usaha untuk maju, maka mereka akan selalu kalah bersaing dengan pelaku usaha yang lain, di dalam dan luar negeri.
Disamping menghadapi tantangan tersebut, Indonesia sendiri juga dipandang sebagai negara yang memiliki daya saing sangat rendah. Pada tahun 2002 posisi daya saing Indonesia menduduki urutan ke 47 dari 49 negara yang disurvei. Posisi ini sangat jauh sekali dibandingkan negara tetangga kita, Malaysia yang menduduki urutan ke 26, dan Filipina yang menempati urutan ke 40.
Dan apabila bandingkan dari segi tingkat efisiensi usaha di Indonesia, yakni menduduki tempat ke 49 (terbawah) dari 49 negara yang disurvei. Hal ini menunjukkan bahwa daya saing usaha Indonesia paling rendah didunia.
Dibalik tantangan yang berat tersebut sebenarnya ada potensi peluang yang sangat besar. Beberapa peluang yang ada diantara tantangan tersebut adalah adanya blok atau kawasan/wilayah perdagangan dan investasi yang bebas. Di kawasan ASEAN ada AFTA yang akan dimulai tahun 2003 ini. Di kawasan Asia dan Pasifik ada APEC, yang bagi anggota ekonomi sedang berkembang seperti Indonesia akan kita masuki pada tahun 2020. Kawasan perdagangan dan investasi regional ini dapat kita manfaatkan untuk mengembangkan potensi bisnis yang kita miliki. Tentu hal ini sangat tergantung pada kelihaian kita memanfaatkan potensi yang ada tersebut.

STRATEGI MEMBANGUN UKMK

Gelombang tren yang kita hadapi ke depan sering juga disebut “New Economy” atau “Cyber Economy”. Memasuki “New Economy” atau “Cyber Economy”.  
Kecenderungan yang terjadi dalam “New Economy” adalah :
(1) karakteristik pasar yang dinamis, kompetisi global, dan bentuk organisasi yang cenderung membentuk jejaring (network);
(2) tingkat  industri yang pengorganisasian produksinya fleksibel dengan pertumbuhan yang didorong oleh inovasi/pengetahuan; didukung teknologi digital; sumber kompetisi pada inovasi, kualitas, waktu, dan biaya, mengutamakan research and development; serta mengembangkan aliansi dan kolaborasi dengan bisnis lainnya.
Untuk menghasilkan UKMK yang unggul ke depan, maka peranan perguruan tinggi sangatlah penting. Di negara-negara maju seperti Kanada, Amerika Serikat, Jepang, Korea Selatan, Taiwan dan bahkan Singapura serta Malaysia sebagai tetangga kita yang dekat upaya ini telah dirintis dengan baik. Di Amerika Serikat, Stanford University sangat terkenal dengan perannya untuk pengembangan inkubator bisnis yang terkenal dengan Silicon Valley. Di Singapura ada dua universitas yang sangat inten mengembangkan UKM, yaitu National University of Singapore dan Nanghyang University. Sedangkan di Malaysia ada Multimedia University yang baru berdiri tahun 1993, sejak tahun 2002 lalu telah gencar mempromosikan program pendampingan pada UKM, khususnya dalam pengembangan bisnis yang berwawasan IT.

REFERENSI :
1.  http://www.downloadpdf.co.uk/strategi-membangun-keunggulan-daya-saing-usaha-mikro--kecil
2.  http://www.smecda.com/deputi7/file_makalah/era-perekonomian-baru.pdf
3.  Seminar Nasional Sehari dengan tema: “Revitalisasi Strategi Pembinaan Usaha Kecil, Menengah dan Koperasi oleh Pemerintah/BUMN dalam Perekonomian Baru” oleh ”I Wayan Dipta”.

Senin, 12 Maret 2012

Pengenalan Hukum Ekonomi

PENGERTIAN KEUANGAN NEGARA DAN
KERUGIAN NEGARA

“Kutipan Makalah, Oleh : Erman Rajagukguk”

Hukum tidak otomatis berperanan dalam pembangunan ekonomi. Untuk dapat mendorong pembangunan ekonomi hukum harus dapat menciptakan tiga kualitas : “predictability”, “stability”, dan “fairness”. Tidak adanya keseragaman, adanya kerancuan dan salah pemahaman mengenai keuangan negara dan kerugian negara telah mendatangkan ketidakpastian hukum dan akhirnya menghambat pembangunan ekonomi.
Paling sedikit ada enam masalah mengenai kerancuan “keuangan negara”
dan “kerugian negara” dalam usaha pemberantasan tindak pidana korupsi dewasa ini, yaitu :

1. Apakah asset PT. BUMN (Persero) adalah termasuk keuangan negara?

Pasal 1 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara menyatakan bahwa Perusahaan Persero, yang selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan. Selanjutnya Pasal 11 menyebutkan terhadap Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.
Karakteristik suatu badan hukum adalah pemisahan harta kekayaan badan hukum dari harta kekayaan pemilik dan pengurusnya. Dengan demikian suatu Badan Hukum yang berbentuk Perseroan Terbatas memiliki kekayaan yang terpisah dari kekayaan Direksi (sebagai pengurus), Komisaris (sebagai pengawas), dan Pemegang Saham (sebagai pemilik). Begitu juga kekayaan yayasan sebagai Badan Hukum terpisah dengan kekayaan Pengurus Yayasan dan Anggota Yayasan, serta Pendiri Yayasan. Selanjutnya kekayaan Koperasi sebagai Badan Hukum terpisah dari Kekayaan Pengurus dan Anggota Koperasi.

2. Apakah kerugian dari satu transaksi dalam PT. BUMN (Persero) berarti
kerugian PT. BUMN (persero) dan otomatis menjadi kerugian negara?

Pasal 56 Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas menyatakan bahwa dalam waktu lima bulan setelah tahun buku perseroan ditutup, Direksi menyusun laporan tahunan untuk diajukan kepada RUPS, yang memuat sekurang-kurangnya, antara lain perhitungan tahunan yang terdiri dari neraca akhir tahun buku yang baru lampau dan perhitungan laba/rugi dari buku tahunan yang bersangkutan serta penjelasan atas dokumen tersebut.
Dengan demikian kerugian yang diderita dalam satu transaksi tidak berarti kerugian perseroan terbatas tersebut, karena ada transaksi-transaksi lain yang menguntungkan. Andaikata ada kerugian juga belum tentu secara otomatis menjadi kerugian perseroan terbatas, karena mungkin ada laba yang belum dibagi pada tahun yang lampau atau ditutup dari dana cadangan perusahaan.
Dengan demikian tidak benar kerugian dari satu transaksi menjadi kerugian atau otomatis menjadi kerugian negara. Namun beberapa sidang pengadilan tindak pidana korupsi telah menuntut terdakwa karena terjadinya kerugian dari satu atau dua transaksi. Sebenarnya ada doktrin “business judgment” menetapkan bahwa Direksi suatu perusahaan tidak bertanggung jawab atas kerugian yang timbul dari suatu tindakan pengambilan keputusan, apabila tindakan tersebut didasarkan kepada itikad baik dan hati-hati. Direksi mendapatkan perlindungan tanpa perlu memperoleh pembenaran dari pemegang saham atau pengadilan atas keputusan yang diambilnya dalam konteks pengelolaan perusahaan.
Business judgment rule” mendorong Direksi untuk lebih berani mengambil resiko daripada terlalu berhati-hati sehingga perusahaan tidak jalan. Prinsip ini mencerminkan asumsi bahwa pengadilan tidak dapat membuat kepastian yang lebih baik dalam bidang bisnis daripada Direksi. Para hakim pada umumnya tidak memiliki ketrampilan bisnis dan baru mulai mempelajari permasalahan setelah terjadi fakta-fakta.

3. Apakah ada upaya hukum bagi Pemerintah sebagai pemegang saham
menuntut Direksi atau Komisaris bila tindakan mereka dianggap
merugikan Pemerintah sebagai pemegang saham?

Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas tetap memungkinkan Pemegang Saham menggugat Direksi atau Komisaris apabila keputusan mereka itu dianggap merugikan Pemegang Saham berdasarkan salah satu dari tiga pasal berikut ini:
Pasal 54 ayat (2) yang menyatakan : “Setiap pemegang saham berhak mengajukan gugatan terhadap perseroan ke Pengadilan Negeri apabila dirugikan karena tindakan perseroan yang dianggap tidak adil akibat keputusan RUPS, Direksi atau Komisaris”.


REFERENSI :
1.    www.yahoo.com : Undang-Undang No.19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara
2.   http://ermanhukum.com/Makalah%20ER%20pdf/PENGERTIAN%20KEUANGAN%20NEGARA.pdf

Minggu, 11 Maret 2012

HUKUM EKONOMI INTERNASIONAL

“Hak Asasi Manusia dan Hukum Ekonomi Internasional,
Kovenan Hak – Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya /
ICESCR 1966”

Lahirnya HAM generasi ke dua ini tidak lepas dari peran serta Franklin Delano Roosevelt selaku presiden Amerika Serikat pada saat itu yang dilatarbelakangi oleh terjadinya depresi besar yang melanda Amerika Serikat dimana selama tiga tahun angka pengangguran di Amerika membumbung dari empat juta sampai dua belas juta orang pertahun.
Hubungan antara hak asasi manusia dengan hukum ekonomi internasional telah menarik cukup banyak perhatian para sarjana hukum, karena individu berhak atas hak asasi manusia (HAM), termasuk di dalamnya hak asasi manusia atas ekonomi. Hak ini dalam hokum internasional adalah salah satu hak yang cukup fundamental. Hal ini agak timpang karena sebenarnya hak – hak ekonomi negara ini pada analisis akhirnya akan berpengaruh terhadap hak – hak asasi manusia atas ekonominya.
Jacquart menyatakan dalam tulisannya bahwa dengan semakin meningkatnya ketidakpastian dan berbagai perubahan dalam bidang politik dan ekonomi pada abad ke 19 dan 20 telah mengubah potret hubungan politik dan ekonomi antara individu dengan negara. Oleh karena itu, beliau menegaskan perlunya memperjelas hak – hak asasi manusia dalam konteks dan wacana yang baru. Sarjana hukum ekonomi internasional terkemuka, Ernst-Ulrich Petersmann menyatakan bahwa pada abad ke 20 mengalami “Revolusi HAM” yang merubah potret antara lain hukum ekonomi internasional. Hal ini bukan saja merupakan suatu perkembangan penting tetapi juga membutuhkan kajian – kajian mendalam tentang implikasi dari perkembangan revolusi HAM ini.
Perubahan penting lainnya yang terjadi dewasa ini adalah cukup banyaknya konstitusi (UUD) di berbagai negara di dunia yang semakin mengakui hak asasi manusia atas ekonomi. Pencantuman hak ekonomi ini menunjukkan semakin pentingnya hak asasi manusia atas ekonomi (termasuk dalam kaitannya dengan hukum ekonomi internasional). Instrumen yang juga penting dalam mengatur hak atas ekonomi ini adalah Pasal 55 Piagam PBB. Pasal ini antara lain mewajibkan PBB untuk memajukan penghormatan termasuk memajukan penaatan terhadap HAM, termasuk HAM atas ekonomi. Pasal 55 Piagam PBB memuat tujuan PBB yaitu memajukan “higher standards of living, full employment and condition of economic and social progress and development; solutions of internasional economic, social, health and related problems and international cultural and educational cooperation”
Perlu dikemukakan disini bahwa HAM yang ditegaskan dalam UDHR bukan saja HAM klasik, yaitu hak – hak sipil dan hak – hak politik. UDHR juga mengakui hak – hak ekonomi, sosial dan budaya (pasal 22–27).
Hak atas ekonomi ini menuntut perlunya perlindungan yang selayaknya. Antara HAM dan hak atas ekonomi ini memiliki kaitan yang cukup erat. Sehingga ada sarjana, misalnya Booysen menyebut hak asasi manusia ini dalam kaitannya dengan hukum ekonomi internasional sebagai international economic human rights. Sedangkan Seidl Hovenveldern menyebutnya sebagai “human rights of economic value”.
HAM sebenarnya adalah bidang yang termasuk ke dalam ruang lingkup hokum internasional. Berdasarkan hukum internasional, HAM menciptakan hak dan kewajiban terhadap negara. Berdasarkan penciptaan ini, negara memiliki tugas (duty) untuk mengakui dan menghormati individu – individu atau pribadi – pribadi yang berada didalam wilayahnya.
Disamping itu negara juga memiliki jurisdiksi atas pribadi – pribadi tersebut.
Sedangkan menurut Booysen, negara hanya memiliki kewajiban (obligation) terhadap negara lainnya, bukan kewajiban terhadap individu. Argumentasinya adalah, individu bukanlah subjek hukum internasional yang penuh. Ia adalah subjek hukum internasional yang sifatnya terbatas.
Karena itu, individu sebenarnya tidak memiliki upaya efektif terhadap negara lain dalam lingkup internasional. Upaya tersebut baru ada apabila secara tegas dinyatakan dan diberikan pada individu tersebut.
1)     Hak atas Ekonomi
Hak atas ekonomi ini termuat dalam Konvenan mengenai HakEkonomi, Sosial dan Budaya. Hak ini menurut Henkin, dikenal sebagaihak general kedua (second generation) dari HAM. Dari pasal – pasal ICESCR tersurat HAM atas ekonomi, yakni :
a. hak atas pekerjaan;
b. hak atas gaji yang layak dengan pekerjaannya;
c. hak untuk bergabung dengan serikat kerja / dagang;
d. hak untuk istirahat (leisure);
e. hak untuk mendapatkan standar hidup yang layak (adequate standar of living) yang mencakup makanan, pakaian, perumahan, kesehatan, dan pelayanan sosial (social services);
f. hak atas pendidikan, termasuk pendidikan dasar gratis, dan
g. hak untuk ikut serta dalam kehidupan budaya pada masyarakat.
2)   Hak atas Pekerjaan
Hak atas pekerjaan termuat dalam Pasa 6 ICESCR, hak ini merupakan an essential part of the human condition. Penegasan hak ini menurut Jacquart, agak sulit untuk tercapai. Ada dua alasan yang mendukung pendapat beliau. Pertama, meskipun ICESCR menegaskan eksisten hak atas pekerjaan, namun ICESCR juga mengakui adanya hak lain yaitu hak atas jaminan sosial (social security).
Kedua, pelaksanaan hak ini sangat bergantung kepada kemampuan pemerintah untuk memberikan pekerjaan kepada warga negaranya. Karena itu, Jacquart berpendapat hak atas pekerjaan ini lebih tepat disebut sebagai hak atas akses terhadap pekerjaan (the rights of access to work).


REFERENSI : 
1.   www.Google.com : “Hukum bisnis dan ekonomi.pdf”
2. Hukum Ekonomi Internasional, Suatu Pengantar
(Penulis : Huala Adolf, S.H., LL.M, PhD)
3.  International Convenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) 1966 (Konvenan Hak – Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya)
4. http://binchoutan.files.wordpress.com/2008/03/ham-dan-hk-ekonomi-internasional.pdf